E . V . E

Jumat, Januari 30, 2009

Lanjutan Unhidden Me

Akhir tahun kemarin benar-benar adalah akhir tahun buat saya. Masa saya mencoba merefleksikan apa yang saya telah lakukan selama tahun 2008 dl. Saya mencoba mengingat satu persatu momen-momen membanggakan yang pernah menghampiri saya. Seingat saya, tidak ada. Saya mencoba berpikir keras untuk membawa kilasan masa saya selama kurang lebih 364 hari dan mencari momen itu. Ternyata tidak ada. Sama sekali tidak ada.


Awalnya diri saya benar-benar menolak untuk mengakui kalau ada sesuatu yang salah dalam diri saya dan dalam kehidupan saya. Sang jiwa terkubur dibalik segala hiruk pikuk liburan yang saya jalani. Tidak setitik pun kesadaran apalagi penyesalan terhadap 1 tahun yang sudah saya lewati begitu saja dengan sia-sia.

Sampai saat itu tiba..

Saat-saat yang saya ceritakan dalam post sebelumnya. Narasi antara sang raga dengan sang jiwa. Beradu kata dan sampai pada suatu pilihan. Untuk membiarkan sang jiwa bermain dalam wilayah kekuasaan sang raga dan memperkenalkan sang jiwa yang selama ini hanya terantuk dalam keadalaman.

Semoga sang jiwa berhasil membawa saya lebih dekat dengan tujuan yang ingin Tuhan saya capai dalam hidup saya dan hidup saya ini bukanlah suatu kesia-siaan melainkan karya besar dalam dunia

Dan kisah itupun berlanjut …
A Note Taken by: Eva Pangaribuan at 21.59 0 comments

Unhidden Me

beberapa hari lalu, V yang sedang nggak melakukan apa-apa dan tidak memikirkan apa-apa tiba-tiba menangis. Menangis sejadi-jadinya.

V, sang raga yang nggak pernah mau mengusik dirinya yang sebenarnya, kini termuntahkan juga.. Tanpa diminta V yang sebenarnya, sang jiwa, menyeruak dan memohon ruang untuk mengucapkan kata dan melakukan tindak. Menyeruak menyusup sebagai tangis.


V berkata dan berkata...

"Kenapa kamu membuat saya selalu merasa tidak nyaman?" ucap sang jiwa.
"Karena saya pikir ini nyaman. Buat saya dan buat kamu." jawab sang raga.
"Nyaman? Ini membuat saya terus gelisah tapi bahkan kamu tidak mau mendengarkan?"
"Kamu terus mengeluh dan mengeluh. Saya hanya menjalankan diri saya sebagaimana seharusnya."

"Lantas apa yang menurut kamu menjalankan diri sesuai dengan yang seharusnya?"
"Menjadi diri sendiri."
"Oh ya? Apa menurut kamu menjadi diri sendiri adalah menjadi bodoh saat kamu pintar, menjadi tidak bisa saat kamu bisa, menjadi pendiam saat kamu periang, menjadi tidak peduli saat kamu memikirkan segalanya sendiri dalam otak kamu?"

"Saya hanya menjadi diri sendiri. Apa itu salah?" Kilah sang raga.
"Tidak. Yang salah adalah ketika kamu terus melakukan hal yang sangat tidak menguntungkan bagimu saat sebenarnya kamu berhak memperoleh keuntungan itu. Saat kamu memilih pilihan yang tidak tepat hanya demi mengubur aku lebih dalam lagi, tidak belajar dari pengalaman yang seharusnya mengajari setiap orang. Kamu hanya menjadi diri kamu yang seadanya. Padahal di dalammu ada aku. Yang menginginkan sesuatu yang luar biasa. Yang dapat melakukan suatu yang luar biasa."

Sang raga diam dan terisak. Memberi kesempatan sang jiwa menguntai kisah.
"Kamu sudah banyak kehilangan moment hanya karena ketidakpedulianmu pada dirimu, ketidakpedulianmu padaku. Entah spekulasi apa yang menari dalam pikiranmu sehingga kamu memilih dirimu menjadi seperti ini."

"Kamu melewatkan masa kepengurusan seksi remaja di gereja yang diberikan padamu dengan sia-sia. Kebencian pada orang-orang sekitarmu menghalangimu dari tujuanmu yang sebenarnya untuk mengabdikan dirimu pada Dia yang telah mengabdikan diri padamu."

"Kamu melewatkan masa2 kuliah yang seharusnya indah bahkan menjauhi semua kehidupan kampusmu, temen2 seangkatan dan memutuskan menjadi orang yg tidak peduli terhadap mereka. Padahal bukan dengan usahamu engkau masuk kesana. Sepenuhnya adalah bagian dari rencana Dia yang merencanakan semua kehidupanmu dengan sempurna. Kamu mengacaukannya. Ilmu yang seharusnya menjadi bagian dari dirimu malah kau muntahkan bahkan kau tolak sebelum mereka menyusup. Teman yang datang, orang-orang yang berusaha berbuat baik dan mengenalmu dengan lebih dekat kamu jauhi. Kamu memilih menjadi orang yang dingin padahal kamu adalah orang yang hangat. Kepengurusan ataupun kepanitiaan kampus yang satu persatu ditawarkan padamu kamu buang dan kamu injak dan memutuskan memilih menjadi orang yang tidak dapat tersentuh. Dan justru semakin membuat kemampuanmu juga tidak tersentuh."

"Kamu menjauhi orang-orang yang dengan setulus hati datang dan menawarkan pertemanan bahkan untaian persahabatan. Memaki mereka saat mereka baru saja memujimu. Membiarkan orang lain berpikir buruk tentangmu dan mereka pun menjauh. Aku tahu kamu memilih untuk menyakiti daripada kamu disakiti. Aku juga tahu dalam pikiranmu pertemanan dan persahabatan selalu berujung dengan rasa sakit yang dihadirkan untukmu. Kamu takut dan kamu membentengi dirimu sendiri dengan segala atribiut tidak tersentuh."

"Kamu sering menyakiti orang-orang yang tanpa kamu sadari ada di sekitarmu. Mengatakan diri mereka menyebalkan padahal dalam hati ingin mengatakan betapa kamu sangat menyayangi dan membutuhkan mereka. Apa salahnya berkata, 'you are my besties' atau 'i care for you' daripada 'you are the worst' atau 'so suck. Kenapa mulutmu dan dirimu tidak melakukan apa yang aku katakan dan rasakan.

"Senangkah kamu sekarang?" Tanya sang jiwa.

.....

Sang raga tidak menjawab. Tidak mampu. Sekali dia ingin menjawab, tapi yang keluar pada detik berikutnya hanya tangis dan isak yang semakin meledak.

"Aku mengerti jawabanmu. Biarkan aku yang menggantikan dirimu. Mengucapkan apa yang kita ucapkan. Melakukan apa yang ingin kita lakukan."

"Aku ingin tersenyum pada dunia. Pada semua orang. Bukan senyum palsu yang keluar hanya karena terjebak dalam situasi dan kondisi yang mengharuskan aku untuk tersenyum."

"Aku ingin mengambil ilmu yang mejadi bagian yang seharusnya ku dapat. Kali ini bukan nilai tapi demi menjalankan kembali rencana yang telah diberikan padaku."

"Aku ingin mengejar ilmu yang membuat aku menjadi lebih baik."

"Aku ingin menjalankan kepengurusan kampus yang hanya tersisa sedikit waktu."

"Aku ingin menjadi hangat sebagaimana diriku menginginkannya."

Dan yang terpenting:
Aku ingin mengatakan kata-kata yang selama ini tidak terucap oleh ragaku tetapi selalu disimpan dalam jiwaku. Aku ingin mengatakan I CARE FOR YOU kepada kamu, temanku yang sudah mengambil bagian dalam diriku.


Dan kisah itupun berlanjut …
A Note Taken by: Eva Pangaribuan at 21.52 2 comments